Setiap pagi ketika ibu membuka mata, ia juga membangunkan suaminya yang selalu ia lihat pertama kali. Setelah mereka cuci muka, selanjutnya ayah pergi ke teras sedangkan ibu menuju dapur membuatkan kopi untuk ayah dan menyiapkan sarapan. Hal itu bukan tanpa alasan mereka lakukan, karena ayah yang memintanya. Beliau selalu ingin bangun sebelum pengantar koran datang. Karena pasti pengantar koran akan melemparkan koran secara sembarang ke dalam halaman rumah. Ketika itu terjadi, maka rumput nan hijau dan basah karena embun pagi, akan menyambut headline news pada koran pagi itu dan membuatnya basah. Ayah benci jika lembar beritanya itu basah dan lembab, karena akan membuat acara baca koran paginya rusak. Setelah membuat pengantar koran memberikan koran secara lebih beradab daripada dilempar, ayah akan duduk di kursi rotan, menyalakan rokok dan mulai membaca koran.
Itu adalah kursi rotan kesayangan ayah. Warnanya coklat muda terlihat dari segala sisi. Kursi rotan itu mempunyai keantikannya sendiri. Rangkanya meliuk-liuk apik berkesan kokoh. Sandaran dan alasnya terbuat dari rotan dengan ukuran lebih kecil yang dianyam rapih namun kuat menopang. Dari dekat terlihat serat-serat dari rotan terpoles menambah keindahan tampilannya. Kehalusan dari bahannya membuat kursi ini lebih dari sekedar kursi, melainkan sebuah karya seni. Tetapi dibalik semua itu, aku tak tahu mengapa ayah sangat menyayangi kursi rotannya.
" Kamu belum tahu ya Devi? Kursi itu menyimpan banyak kenangan masa kecil ayahmu." Jelas ibu singkat. Aku hanya menelan mentah-mentah penjelasan ibuku dan kembali berlari menuju boneka kesayanganku. Perbincangan itu sudah sekitar tujuh tahun yang lalu dan aku masih mengingatnya baik. Namun Devi kini bukan Devi kecil lagi, Devi sudah tumbuh besar dan dewasa cara pandangnya. Karena itu aku kembali penasaran dengan kursi rotan itu.
" Dev, hayo lagi melamun apa?" Ibu segera menyadarkanku, mataku yang tadinya kosong kembali terisi memandang ibuku yang mulai duduk di sampingku.
" ah bukan apa-apa ma, cuma kenapa sih papa masih memakai kursi rotan ini? Padahal mama juga tahu keadaan kursinya dah kayak gimana?" Aku langsung meluncurkan pertanyaanku itu dengan polosnya. Ibu yang mendengar pertanyaanku hanya tersenyum kecil dan merapatkan posisi duduknya terhadapku. Insting kekanak-kanakan membimbingku untuk bersandar pada bahunya dan Ibu mulai menceritakan kisah dibalik kursi itu seperti mendongeng padaku.
" Nak, kita hidup di dunia ini diberi Allah dua kantong. Dan disadari atau tidak, kita harus mengisi kantong itu jika akan pergi jauh." Kata sang ayah paruh baya pada anaknya.
" Diisi uang pah, untuk jajan soto nanti kalau lapar di jalan, papa kan suka soto." Anak yang hampir habis masa balitanya itu menjawab lugu. Sang ayah tertawa kemudian mengelus lembut rambut anaknya.
" Pintar, tapi bukan hanya itu. Kita harus mengisinya dengan bekal, bekal duniawi, dan surgawi." Sang ayah melanjutkan penjelasannya. Matanya menatap pada anaknya yang paling bungsu itu, menatap anaknya yang sepertinya bingung. Namun tak terkira bahwa pelajaran itu terpatri hebat dalam ingatan, kini jadi kenangan. Kursi rotan itu tentu juga merasakannya, ia memang benda mati, tetapi ia juga saksi bisu bagi sebuah kehancuran.
" Sampai kapan orang tua itu hidup?"
" Iya, aku butuh duit, jual tanah warisan pasti lumayan untuk nambah modal. Dah gak sabar pengen pindah ke apartemen."
" Tapi pasti si bungsu dapat bagian yang paling besar, huh!"
" Belum tentu, semua tergantung wasiatnya."
Jantungnya rasanya berhenti sejenak mendengar penggalan pembicaraan itu kemudian selanjutnya berdetak cepat. Siapa sangka ketiga kakaknya berkata-kata seperti tak menginginkan ayahnya masih bisa bertahan dalam keadaan yang kian renta. Tak pernah ia duga juga sebelumnya menjadi seorang yang tak diinginkan untuk pernah dilahirkan, dilahirkan menjadi si bungsu.
" Tega sekali mereka membicarakan wasiat sebelum ayah tiada." Kata si bungsu dalam hati sembari masih menyimak kata demi kata yang terlontar antara ketiga kakanya itu.
" Yahh, kalau memang wasiat mengatakan seperti itu, rubah saja."
" Gampang kan?"
" Cuma butuh uang sedikit."
Kembali percakapan itu terurai. Matanya terbelalak, peluh jatuh tetes demi tetes. Hawa sekitar mulai panas, Si bungsu tertusuk kecewa menahan amarah. Tubuhnya bergetar menerima campur aduk segala emosi yang menjadi satu. Tak kuat ia menerima kenyataan itu. Langsung ia tinggalkan tempat itu, langkahnya berderap tak terdengar, cepat, secepat derap jantungnya.
Entahlah kapan ia akan menceritakannya pada ayahnya. Namun ia selalu tak sampai hati mengutarakannya. Takut akan menyakiti hati sang ayah. Beberapa kali ia menahan diri untuk tidak mengadu. Tapi tak lama setelah pembicaraan itu, sosok ayah itu akhirnya pergi. Serangan jantungnya kali ini tak bisa dijinakkannya. Si bungsu menyesal tak berada di samping ayahnya saat itu.
Seringai kemenangan terkembang di bibir setiap kakaknya yang mereka balut dengan tangisan di depan para pelayat. Tangisan kemunafikan, diantara air mata yang jatuh siang itu, air mata dari ketiga kakak kandungnya itu yang paling palsu. Si bungsu berselimut duka, hatinya hancur dan kecut mengangkat peti tempat tidur ayahnya untuk selamanya. Tapi tak ada daya darinya, persekongkolan itu seperti endapan lumpur di air nan jernih. Terlihat tapi tak akan mengotori air dan naik ke permukaan jika tak diusik.
Perumpamaan tentang dua kantong terbukti, ayahku tak mau mengusik masalah harta warisan, ia tidak memintanya. Ia lebih memilih pundi-pundi surgawi untuk ia bawa bersama kursi rotan penuh kenangan itu. Warisannya terekam semua di sebuah kursi, sebagai saksi bisu. Benar juga, nasehat dan petuah menjadi warisan yang tak kan pernah habis walau kau berikan pada semua orang di dunia ini.
Kini setiap memasuki halaman rumah, pandanganku tertuju pada kursi rotan itu. Ia menjadi sangat menyolok ketika kau sudah tahu kisah dibaliknya.
* * *
Disela-sela santap malam aku kembali teringat dengan kisah sebuah kursi kesayangan ayah. Teringat akan hal itu membuatku mencuri-curi pandang pada ayah.
" Devi, kenapa kamu memandang ayah seperti itu? Ada apa? Minta dibeliin sesuatu ya?" Ternyata ayah juga menyadari jika aku memandanginya. Karena ketahuan seperti itu membuatku cengar-cengir. Terlihat ibu juga tersenyum melihat tingkahku.
" Tidak papah, tidak ada apa-apa kok, hehe" Kalau sudah terpepet pasti aku jawab sekenanya aja.
" Yang bener? Kamu tidak pengen handphone terbaru kan Dev?" Cibir ayah kepadaku.
" Ayah nih, gak ada apa-apa kok, tenang saja papahku." Jawabku meredam rasa penasaran ayah. Mendengar jawabanku yang malah semakin membuat ayah penasaran, beliau melanjutkan makan tapi
memandangku dengan tatapan penuh dengan pertanyaan. Lalu beliau meraih rokok, menyalakannya dengan korek kayu dan mulai memenuhi ruang makan dengan asap rokok. Ketika itu terjadi berarti acara santap makan malam itu sudah selesai. Cepat-cepat aku meninggalkan meja makan dan berlari menuju kamarku. Seharian ini aku jadi memikirkan ayah terus. Selama ini tak ku sadari beliau selalu menyimpan kenangan pahit di setiap kesempatan untuk duduk di kursi rotan kesayangannya.
Betapa jika seseorang mempunyai kenangan indah, sesuatu yang bisa membuat kenangan itu bangkit akan selalu ia jaga. Seperti setiap kesempatan yang ku rasakan bersama keluarga kecil ini. Aku tak ingin semua ini hilang begitu saja. Pintu kamarku segera ku kunci sesaat setelah aku masuk.
Di atas meja belajarku ada ayamnya. Celengan ayam itu sepertinya sudah gemuk, karena setiap hari ku kasih makan beberapa uang seribuan atau kadang-kadang recehan yang malas ku bawa dalam dompet. Wah memang dia sudah gemuk, berat sekali ketika ku angkat. Tetapi kasihan sekali aku harus memukul-mukulmu untuk mendapatkan uangku. Pukulan yang ku lancarkan pun tak terlalu keras, takut menjadi gaduh dan menarik perhatian ayah dan ibu.
" Akhirnya retak juga!" Senyuman mengembang di bibirku dan aku semakin semangat memukul-mukul ayam dari tanah liat itu dengan penggaris besi seadanya. ' Tuk! Tuk! Prakk!'
" Akhirnya pecah juga!" Cepat-cepat ku jungkir balikkan ayam itu dan keluarlah semua recehnya kemudian baru uang kertasnya yang perlu sedikit dirogoh-rogoh. Setelah benar-benar kosong, mulai ku hitung semua uang yang berserakan. Jumlahnya lumayan, capai ratusan ribu tapi tidak tembus setengah juta.
Ku sadari setelah aku melakukannya, ternyata aku telah terinspirasi oleh ayahku sendiri. Beliau membuatku lebih menyukuri saat-saat indah bersama keluarga ini. Dengan uang ini, kenapa tidak aku membelikan sesuatu untuk ayah sebagai kado ulang tahunnya? Tetapi apa yang harus ku berikan pada ayah?
Entahlah, masih ada waktu kurang lebih satu setengah bulan untuk memikirkannya. Lagipula aku juga bisa membicarakannya dengan ibu.
Itu adalah kursi rotan kesayangan ayah. Warnanya coklat muda terlihat dari segala sisi. Kursi rotan itu mempunyai keantikannya sendiri. Rangkanya meliuk-liuk apik berkesan kokoh. Sandaran dan alasnya terbuat dari rotan dengan ukuran lebih kecil yang dianyam rapih namun kuat menopang. Dari dekat terlihat serat-serat dari rotan terpoles menambah keindahan tampilannya. Kehalusan dari bahannya membuat kursi ini lebih dari sekedar kursi, melainkan sebuah karya seni. Tetapi dibalik semua itu, aku tak tahu mengapa ayah sangat menyayangi kursi rotannya.
" Kamu belum tahu ya Devi? Kursi itu menyimpan banyak kenangan masa kecil ayahmu." Jelas ibu singkat. Aku hanya menelan mentah-mentah penjelasan ibuku dan kembali berlari menuju boneka kesayanganku. Perbincangan itu sudah sekitar tujuh tahun yang lalu dan aku masih mengingatnya baik. Namun Devi kini bukan Devi kecil lagi, Devi sudah tumbuh besar dan dewasa cara pandangnya. Karena itu aku kembali penasaran dengan kursi rotan itu.
" Dev, hayo lagi melamun apa?" Ibu segera menyadarkanku, mataku yang tadinya kosong kembali terisi memandang ibuku yang mulai duduk di sampingku.
" ah bukan apa-apa ma, cuma kenapa sih papa masih memakai kursi rotan ini? Padahal mama juga tahu keadaan kursinya dah kayak gimana?" Aku langsung meluncurkan pertanyaanku itu dengan polosnya. Ibu yang mendengar pertanyaanku hanya tersenyum kecil dan merapatkan posisi duduknya terhadapku. Insting kekanak-kanakan membimbingku untuk bersandar pada bahunya dan Ibu mulai menceritakan kisah dibalik kursi itu seperti mendongeng padaku.
" Nak, kita hidup di dunia ini diberi Allah dua kantong. Dan disadari atau tidak, kita harus mengisi kantong itu jika akan pergi jauh." Kata sang ayah paruh baya pada anaknya.
" Diisi uang pah, untuk jajan soto nanti kalau lapar di jalan, papa kan suka soto." Anak yang hampir habis masa balitanya itu menjawab lugu. Sang ayah tertawa kemudian mengelus lembut rambut anaknya.
" Pintar, tapi bukan hanya itu. Kita harus mengisinya dengan bekal, bekal duniawi, dan surgawi." Sang ayah melanjutkan penjelasannya. Matanya menatap pada anaknya yang paling bungsu itu, menatap anaknya yang sepertinya bingung. Namun tak terkira bahwa pelajaran itu terpatri hebat dalam ingatan, kini jadi kenangan. Kursi rotan itu tentu juga merasakannya, ia memang benda mati, tetapi ia juga saksi bisu bagi sebuah kehancuran.
" Sampai kapan orang tua itu hidup?"
" Iya, aku butuh duit, jual tanah warisan pasti lumayan untuk nambah modal. Dah gak sabar pengen pindah ke apartemen."
" Tapi pasti si bungsu dapat bagian yang paling besar, huh!"
" Belum tentu, semua tergantung wasiatnya."
Jantungnya rasanya berhenti sejenak mendengar penggalan pembicaraan itu kemudian selanjutnya berdetak cepat. Siapa sangka ketiga kakaknya berkata-kata seperti tak menginginkan ayahnya masih bisa bertahan dalam keadaan yang kian renta. Tak pernah ia duga juga sebelumnya menjadi seorang yang tak diinginkan untuk pernah dilahirkan, dilahirkan menjadi si bungsu.
" Tega sekali mereka membicarakan wasiat sebelum ayah tiada." Kata si bungsu dalam hati sembari masih menyimak kata demi kata yang terlontar antara ketiga kakanya itu.
" Yahh, kalau memang wasiat mengatakan seperti itu, rubah saja."
" Gampang kan?"
" Cuma butuh uang sedikit."
Kembali percakapan itu terurai. Matanya terbelalak, peluh jatuh tetes demi tetes. Hawa sekitar mulai panas, Si bungsu tertusuk kecewa menahan amarah. Tubuhnya bergetar menerima campur aduk segala emosi yang menjadi satu. Tak kuat ia menerima kenyataan itu. Langsung ia tinggalkan tempat itu, langkahnya berderap tak terdengar, cepat, secepat derap jantungnya.
Entahlah kapan ia akan menceritakannya pada ayahnya. Namun ia selalu tak sampai hati mengutarakannya. Takut akan menyakiti hati sang ayah. Beberapa kali ia menahan diri untuk tidak mengadu. Tapi tak lama setelah pembicaraan itu, sosok ayah itu akhirnya pergi. Serangan jantungnya kali ini tak bisa dijinakkannya. Si bungsu menyesal tak berada di samping ayahnya saat itu.
Seringai kemenangan terkembang di bibir setiap kakaknya yang mereka balut dengan tangisan di depan para pelayat. Tangisan kemunafikan, diantara air mata yang jatuh siang itu, air mata dari ketiga kakak kandungnya itu yang paling palsu. Si bungsu berselimut duka, hatinya hancur dan kecut mengangkat peti tempat tidur ayahnya untuk selamanya. Tapi tak ada daya darinya, persekongkolan itu seperti endapan lumpur di air nan jernih. Terlihat tapi tak akan mengotori air dan naik ke permukaan jika tak diusik.
Perumpamaan tentang dua kantong terbukti, ayahku tak mau mengusik masalah harta warisan, ia tidak memintanya. Ia lebih memilih pundi-pundi surgawi untuk ia bawa bersama kursi rotan penuh kenangan itu. Warisannya terekam semua di sebuah kursi, sebagai saksi bisu. Benar juga, nasehat dan petuah menjadi warisan yang tak kan pernah habis walau kau berikan pada semua orang di dunia ini.
Kini setiap memasuki halaman rumah, pandanganku tertuju pada kursi rotan itu. Ia menjadi sangat menyolok ketika kau sudah tahu kisah dibaliknya.
* * *
Disela-sela santap malam aku kembali teringat dengan kisah sebuah kursi kesayangan ayah. Teringat akan hal itu membuatku mencuri-curi pandang pada ayah.
" Devi, kenapa kamu memandang ayah seperti itu? Ada apa? Minta dibeliin sesuatu ya?" Ternyata ayah juga menyadari jika aku memandanginya. Karena ketahuan seperti itu membuatku cengar-cengir. Terlihat ibu juga tersenyum melihat tingkahku.
" Tidak papah, tidak ada apa-apa kok, hehe" Kalau sudah terpepet pasti aku jawab sekenanya aja.
" Yang bener? Kamu tidak pengen handphone terbaru kan Dev?" Cibir ayah kepadaku.
" Ayah nih, gak ada apa-apa kok, tenang saja papahku." Jawabku meredam rasa penasaran ayah. Mendengar jawabanku yang malah semakin membuat ayah penasaran, beliau melanjutkan makan tapi
memandangku dengan tatapan penuh dengan pertanyaan. Lalu beliau meraih rokok, menyalakannya dengan korek kayu dan mulai memenuhi ruang makan dengan asap rokok. Ketika itu terjadi berarti acara santap makan malam itu sudah selesai. Cepat-cepat aku meninggalkan meja makan dan berlari menuju kamarku. Seharian ini aku jadi memikirkan ayah terus. Selama ini tak ku sadari beliau selalu menyimpan kenangan pahit di setiap kesempatan untuk duduk di kursi rotan kesayangannya.
Betapa jika seseorang mempunyai kenangan indah, sesuatu yang bisa membuat kenangan itu bangkit akan selalu ia jaga. Seperti setiap kesempatan yang ku rasakan bersama keluarga kecil ini. Aku tak ingin semua ini hilang begitu saja. Pintu kamarku segera ku kunci sesaat setelah aku masuk.
Di atas meja belajarku ada ayamnya. Celengan ayam itu sepertinya sudah gemuk, karena setiap hari ku kasih makan beberapa uang seribuan atau kadang-kadang recehan yang malas ku bawa dalam dompet. Wah memang dia sudah gemuk, berat sekali ketika ku angkat. Tetapi kasihan sekali aku harus memukul-mukulmu untuk mendapatkan uangku. Pukulan yang ku lancarkan pun tak terlalu keras, takut menjadi gaduh dan menarik perhatian ayah dan ibu.
" Akhirnya retak juga!" Senyuman mengembang di bibirku dan aku semakin semangat memukul-mukul ayam dari tanah liat itu dengan penggaris besi seadanya. ' Tuk! Tuk! Prakk!'
" Akhirnya pecah juga!" Cepat-cepat ku jungkir balikkan ayam itu dan keluarlah semua recehnya kemudian baru uang kertasnya yang perlu sedikit dirogoh-rogoh. Setelah benar-benar kosong, mulai ku hitung semua uang yang berserakan. Jumlahnya lumayan, capai ratusan ribu tapi tidak tembus setengah juta.
Ku sadari setelah aku melakukannya, ternyata aku telah terinspirasi oleh ayahku sendiri. Beliau membuatku lebih menyukuri saat-saat indah bersama keluarga ini. Dengan uang ini, kenapa tidak aku membelikan sesuatu untuk ayah sebagai kado ulang tahunnya? Tetapi apa yang harus ku berikan pada ayah?
Entahlah, masih ada waktu kurang lebih satu setengah bulan untuk memikirkannya. Lagipula aku juga bisa membicarakannya dengan ibu.